Sebuah tradisi unik berlangsung di Masjid Agung Surakarta, yang berdiri di kompleks Keraton Kasunanan. Ada dua jemaah salat tarawih berbeda dalam satu atap masjid. Beda imam dan beda jumlah rakat.
Saban salat tarawih, masjid itu dipenuhi dua golongan jemaah salat tarawih, yakni yakni jamaah 11 rakaat dan 23 rakaat. Bisa jadi masjid kuno itu, menjadi satu-satunya masjid yang menciptakan tradisi pluralisme khas Surakarta.
Menyatunya dua jamaah itu menunjukkan ukhuwah islamiyah. Jemaah dengan jumlah rakaat salat tarawih 23 rakaat, menempati ruang sebelah kanan dari ruang utama masjid. Sedangkan jemaah dengan salat tarawih 11 rakaat menempati ruang aula utama masjid, juga dengan imam mereka sendiri.
Meski salat tarawih dalam waktu bersamaan, kedua jemaah tetap rukun dan saling menghormati. Jika ada beda jeda waktu, itu tak terlalu lama. Biasanya jamaah 23 rakaat memulai salat tarawihnya lebih dulu, dengan pertimbangan jumlah rekaat salatnya lebih banyak. Menyusul jamaah 11 rakaat, namun kedua jamaah tidak merasa terusik dengan bacaan salat antar jamaah, meski hanya dipisahkan dinding dan beberapa pintu.
”Semua jamaah melaksanakan salat Isya secara berjamaah dengan satu imam. Namun, ketika shalat Isya selesai, para jamaah itu akan mulai memisahkan diri untuk melaksanakan salat tarawih dengan imam dan jemaahnya masing-masing,” kata Ketua II Takmir Masjid Agung Surakarta, H Slamet Aby dikutip VIVAnews.com, Selasa, 2 Agustus 2011.
Untuk saling menghormati dan tidak mengganggu shalat tarawih masing-masing jemaah, pihak takmir masjid mengatur volume pengeras suara kedua imam jamaah itu. ”Agar tidak saling terganggu dengan bacaan imam,” katanya.
Tradisi pluralisme yang tercipta di masjid peninggalan Paku Buwana IV itu sudah berlangsung puluhan tahun. Menurut Slamet, pada awal berdirinya masjid ini, setiap shalat tarawih pada bulan Ramadan jumlah rakaat salatnya kompak 23 rakaat.
Namun, sekitar tahun 1980an, kebijakan untuk memisahkan ruangan itu pun muncul. Sebab, setiap kali shalat tarawih pada hitungan 8 rakaat, sejumlah jamaah meninggalkan masjid dan melanjutkan dengan shalat witir di rumah.
Atas solusi dari KH Muthohar Al Hafidz, pengasuh Pondok Pesantren Ta’fid Wattaqlimil Qur’an yang satu komplek dengan Masjid Agung, pada tahun 1983, jamaah shalat tarawih mulai dipisahkan antara yang 11 rakaat dengan 23 rakaat.
Selanjutnya, yang 11 rakaat menempati ruang utama masjid karena jumlah jemaahnya lebih banyak. Sedangkan, yang jemaah shalat tarawih 23 rakaat pun menempati ruangan sebelah utara masjid yang dari segi ukuran ruangan lebih kecil
”Semua menyadarinya bahwa dalam bulan suci Ramadhan harus menjunjung persaudaraan dan kerukunan. Jangan sampai merusak momen bulan suci ini,” ujarnya.
“Kondisi seperti ini malah menunjukkan kalau di masjid ini ada semacam kemajemukan yang menjunjung ukhuwah Islamiyah di kalangan umat muslim. Jadi, bagi kami tidak masalah yang penting rukun.”
Slamet mengatakan, pemisahan dua jemaah karena salat tarwaih itu tidak lama. karena, usai salat tarawih kedua jamaah itu, berkumpul lagi di serambi masjid untuk menggelar tadarus Al Quran. ”Rasa persaudaraan pun terlihat ketika para jamaah 11 rakaat menunggu dengan sabar rampungnya shalat tarawih di ruang seberang sebelum memulai tadarus,” kata Slamet.
source